Perkataan Farmakognosi berasal dari dua kata Yunani yaitu Pharmakon yang berarti obat dan gnosis yang berarti ilmu atau pengetahuan. Jadi farmakognosi berarti pengetahuan tentang obat.
Definisi yang mencakup seluruh ruang lingkup farmakognosi diberikan oleh Fluckiger, yaitu
pengetahuan secara serentak berbagai macam cabang ilmu pengetahuan
untuk memperoleh segala segi yang perlu diketahui tentang obat.
Farmakognosi adalah sebagai
bagian biofarmasi, biokimia dan kimia sintesa, sehingga ruang lingkupnya
menjadi luas seperti yang diuraikan dalam definisi Fluckiger.
Sedangkan di Indonesia saat ini untuk praktikum Farmakognosi hanya
meliputi segi pengamatan makroskopis, mikroskopis dan organoleptis yang
seharusnya juga mencakup identifikasi, isolasi dan pemurnian setiap zat
yang terkandung dalam simplisia dan bila perlu penyelidikan dilanjutkan
ke arah sintesa. Sebagai contoh: Chloramphenicol dapat dibuat secara
sintesa total, yang sebelumnya hanya dapat diperoleh dari biakkan
cendawan Streptomyces venezuela.
Hubungan Farmakognosi Dengan Botani – Zoologi
Simplisia harus mempunyai
identitas botani–zoologi yang pasti, artinya harus diketahui dengan
tepat nama latin tanaman atau hewan dari mana simplisia tersebut
diperoleh, misalnya: menurut Farmakope Indonesia ditentukan bahwa untuk
Kulit Kina harus diambil dari tanaman asal Cinchona succirubra,
sedangkan jenis kina terdapat banyak sekali, yang tidak mempunyai kadar
kina yang tinggi. Atas dasar pentingnya identitas botani–oologi maka
nama–nama tanaman atau hewan dalam Farmakope selalu disebut nama latin
dan tidak dengan nama daerah, karena satu nama daerah seringkali berlaku
untuk lebih dari satu macam tanaman sehingga dengan demikian nama
daerah tidak selalu memberikan kepastian identitas. Dengan demikian
menetapkan identitas botani–zoologi secara tepat adalah langkah pertama
yang harus ditempuh sebelum melakukan kegiatan-kegiatan lainnya dalam
bidang farmakognosi.
Hubungan Farmakognosi Dengan Ilmu – Ilmu Lain
Sebelum kimia organik dikenal,
simplisia merupakan bahan utama yang harus tersedia di tempat meramu
atau meracik obat dan umumnya diramu atau diracik sendiri oleh tabib
yang memeriksa sipenderita, sehingga dengan cara tersebut Farmakognosi
dianggap sebagai bagian dari Materia Medika. Simplisia diapotik kemudian
terdesak oleh perkembangan galenika, sehingga persediaan simplisia di
apotik digantikan dengan sediaan – sediaan galenik yaitu, tingtur,
ekstrak, anggur dan lain – lain.
Kemudian setelah kimia organik
berkembang, menyebabkan makin terdesaknya kedudukan simplisia di
apotik-apotik. Tetapi hal ini bukan berarti simplisia tidak diperlukan
lagi, hanya tempatnya tergeser ke pabrik – pabrik farmasi, Tanpa adanya
simplisia di apotik tidak akan terdapat sediaan-sediaan galenik, zat
kimia murni maupun sediaan bentuk lainnya, misalnya: serbuk, tablet,
ampul, contohnya: Injeksi Kinin Antipirin, Secara sepintas Kinina
antipirin dibuat secara sintetis tetapi dari sediaan tersebut hanya
Antipirin saja yang dibuat sintetis sedangkan kinina hanya dapat
diperoleh jika ada Kulit Kina, sedangkan untuk mendapatkan kulit kina
yang akan ditebang atau dikuliti adalah dari jenis Cinchona yang
dikehendaki. Untuk memperoleh jenis Cinchona yang dikehendaki tidak
mungkin diambil dari jenis Cinchona yang tumbuh liar, sehingga harus ada
cara pengumpulan dan perkebunan yang baik dan terpelihara. Dalam
perkebunan ini farmakognosi erat hubungannya dengan ilmu-ilmu lain
misalnya: Biokimia, dalam pembuatan zat-zat sintetis seperti Kortison,
Hidrokortison dan lain – lainnya.
Dari contoh-contoh tersebut
maka dapat diketahui bahwa ruang lingkup Farmakognosi tidak terbatas
pada pengetahuan tentang simplisia yang tertera dalam Farmakope, tetapi
meliputi pemanfaatan alam nabati-hewani dan mineral dalam berbagai
aspeknya di bidang farmasi dan Kesehatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar